ORIENTASI DAN
TRANSFORMASI
MENUJU PENDIDIKAN
AGAMA BERWAWASAN MULTIKULTURAL
Materi ini disampaikan oleh Romo Dr. Dominikus Nong, Pr (Ketua STIPAR Ende) pada kesempatan pengambangan wawasan multikultural bagi para guru pendidikan agama lintas agama tingkat Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende.
Pendidikan adalah
suatu bagian integral dari seluruh hidup manusia. Pendidikan merupakan suatu
proses yang terjadi bersama dengan seluruh proses perkembangan hidup manusia.
Karena itu pendidikan dalam arti luas harus dipahami sebagai suatu proses yang
terjadi sepanjang hidup manusia, walaupun secara formal pendidikan itu
dipenggal-penggal dan dibatasi oleh lamanya waktu dan jenjang.
Di dalam pendidikan
sebagai proses itu terjadilah formasi dan transformasi pribadi manusia secara
kognitif, affektif dan psikomotorik. Melalui pendidikan manusia dibentuk dan
diubah, atau manusia membentuk pribadinya dan mengubah dirinya. Pembentukan dan
perubahan ini harus dipahami sebagai suatu proses pembebasan dan sekaligus
pemberdayaan pribadi manusia. Dikatakan sebagai proses pembebasan karena
pendidikan merupakan proses menuntun/membimbing manusia keluar atau membebaskan
manusia dari kemiskinan (kekurangan) akan wawasan pengetahuan, nilai dan sikap
pribadi, serta ketrampilan hidup. Dikatakan sebagai proses pemberdayaan karena pendidikan merupakan suatu proses memberi daya
atau memampukan manusia untuk mengelola
wawasan pengetahuan, sikap dan ketrampilan pribadi.
Pendidikan sebagai
proses formasi dan transformasi atau sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan
manusia tidak pernah dan tidak bisa terjadi di luar konteks hidup manusia.
Salah satu konteks hidup manusia yang amat erat kaitannya dengan pendidikan
adalah konteks budaya (sosio-kultural). Karena di satu sisi konteks kultural
basis pendidikan, tapi di sisi lain kultur/budaya sekaligus merupakan produk
dari manusia terdidik. Pendidikan adalah proses membudayakan manusia atau
proses menjadikan manusia lebih berbudaya.
Demikian juga
terjadi dengan pendidikan agama. Pendidikan agama tidak bisa tidak harus
terjadi dalam konteks budaya hidup manusia. Secara khusus pendidikan agama bagi
anak-anak Indonesia harus terjadi dalam konteks budaya masyarakat Indonesia.
Budaya masyarakat Indonesia bukanlah budaya tunggal atau monokultural. Budaya
masyarakat Indonesia adalah budaya aneka atau multikultural. Realitas
multikultural inilah yang menjadi konteks pendidikan agama bagi anak-anak
Indonesia. Di sinilah letak pentingnya berbicara dan mengaplikasikan pendidikan
agama yang berwawasan multikultural bagi anak-anak Indonesia.
Bicara tentang
agama dan kehidupan beragama, pada hakekatnya, tidak bisa lepas dari 3 unsur
pokok yaitu:
1.
doktrin
atau ajaran,
2.
Ritus
atau ibadah kultis, dan
3.
Ibadah
hidup praxis dari penganut agama.
Ketiga hal ini, apabila dihayati dan
diamalkan dengan setia, akan membuat seorang manusia menjadi manusia yang
beriman benar, bertaqwa kepada Tuhan dan hidup harmonis dengan sesama dan
lingkungan hidupnya. Ideal hidup beragama ini tidak secara otomatis mempribadi
dalam pikiran dan hati serta hidup manusia. Dibutuhkan suatu proses yang
disengajakan oleh manusia, yaitu pendidikan agama.
Pendidikan agama
adalah suatu proses pembebasan anak manusia dari kemiskinan akan pengetahuan
doktrinal-religius, nilai dan sikap moral-religius, serta ketrampilan hidup
religius. Melalui pendidikan agama, manusia akan menjadi kaya pengetahuan
religius, kaya nilai dan sikap moral-religius, kaya ketrampilan hidup religius.
Dengan kekayaan-kekayaan tersebut manusia akan memiliki daya religius yang
memampukannya untuk mengelola dan menerapkan pengetahuan religius, nilai dan
sikap moral-religius, serta ketrampilan religius dalam praxis hidup, terutama
dalam relasinya dengan Tuhan dan sesama manusia serta lingkungan hidupnya.
1.
Sebagai
proses pembebasan dan pemberdayaan manusia dari kemiskinan pengetahuan doktrinal religius, pendidikan agama
menjadi proses pengajaran kebenaran-kebenaran iman dan moral religius sehingga
manusia memiliki bekal cukup dalam pengetahuan iman dan moral religius yang
benar. Pendidikan agama juga menjadi proses pemurnian pengetahuan iman dan
moral religius dari pemahaman-pemahaman yang keliru bahkan sesat tentang iman
dan moral religius sehingga manusia mampu membedakan secara kritis ajaran iman
dan moral yang benar dari ajaran-ajaran yang keliru/sesat.
2.
Sebagai
proses pembebasan dan pemberdayaan manusia dari kemiskinan nilai dan sikap moral religius, pendidikan agama
menjadi proses penanaman nilai dan pembentukan sikap moral religius sehingga
manusia menjadi pribadi yang kaya nilai dan memiliki sikap-sikap bajik terhadap
Tuhan dan sesama serta lingkungan hidup. Dengan demikian manusia akan mampu
bersikap baik dan benar terhadap Tuhan dan sesama serta lingkungan hidupnya.
3.
Sebagai
proses pembebasan dan pemberdayaan manusia dari kemiskinan ketrampilan hidup religius, pendidikan agama
menjadi proses pelatihan ketrampilan manusia untuk mengelola dan menerapkan
pengetahuan dan sikap-sikap iman dan moral religius dalam sembah-baktinya
kepada Allah dan dalam relasinya dengan sesama manusia serta lingkungan
hidupnya pada setiap waktu dan setiap tempat.
Pendidikan agama
sebagaimana diungkap di atas untuk menghasilkan manusia-manusia yang bebas dan
berdaya dalam iman dan moral religius pada dasarnya diupayakan manusia-manusia
konkrit dengan konteks budayanya yang khas. Selain budaya mondial (global),
budaya masyarakat Indonesia menjadi penting sebagai konteks bagi pendidikan
agama anak manusia Indonesia. Budaya masyarakat Indonesia adalah budaya aneka
atau multikultural, baik dari sisi kultur adat maupun dari sisi kultur
religius. Aspek multikultural secara amat padat dirangkum dalam Pancasila, yang
kita bisa sebut sebagai Budaya Pancasila.
Budaya Pancasila
dalam setiap dan semua silanya, kalau dicermati dengan baik, memberi ruang bagi
keanekaan budaya milik bangsa Indonesia dan bisa menjadi sebuah konteks
kultural yang sangat kondusif bagi pendidikan agama manapun yang dianut oleh
anak-anak Tuhan yang hidup di bumi Indonesia. Secara khusus, sila pertama Pancasila
memberi tempat istimewa bagi eksistensi agama-agama dan terwujudnya pendidikan
agama yang berwawasan multikultural.
Wawasan
multikultural adalah wawasan manusia yang berbudaya inklusif, bukan eksklusif.
Wawasan budaya yang demikian selalu memiliki kecenderung utama untuk terbuka
terhadap budaya lain dan menerima budaya lain dalam suasana persahabatan dan
kemitraan. Wawasan budaya multikultural selalu mendorong manusia untuk tidak
menutup diri dalam kurungan budaya sendiri dan bersikap menolak kehadiran
budaya lain sampai terekspresi dalam tindakan-tindakan kekerasan terhadap
budaya lain.
Agama dengan 3
dimensinya seperti diungkap di atas, adalah hal yang amat hakiki dalam agama
dan karena itu menjadi hal yang sangat peka bagi manusia beragama, apalagi
dalam manusia kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural. Di sini
pendidikan agama berwawasan multikultural sungguh diperlukan. Pendidikan agama
berwawasan multikultural mesti dimengerti sebagai suatu proses membentuk
manusia Indonesia yang memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan
moral-religius yang benar dan sekaligus terbuka terhadap eksistensi agama-agama
lain dan menerima agama-agama lain sebagai sahabat dan mitra dalam iman akan
Tuhan yang satu dan sama.
Demi kepentingan
pendidikan agama yang berwawasan multikultural dibutuhkan orientasi dan
transformasi yang tepat dan benar yang harus dimiliki terutama oleh para
pendidik agama.
Pendidikan agama
berwawasan multikultural akan bisa terwujud dengan baik, apabila para pendidik
agama memiliki orientasi yang tepat dan benar. Karena tanpa orientasi yang
tepat dan benar dari para pendidik agama, maka terbuka untuk peluang terciptanya manusia-manusia yang
sempit wawasan pengetahuan moral-religius, sikap-sikap moral-religius yang
tertutup dan tindakan-tindakan moral-religius yang cenderung ofensif-represif.
Orientasi pada
hakekatnya adalah sebuah ungkapan yang bermakna keterarahan atau ketertujuan
pribadi manusia kepada sesuatu yang ada di hadapannya sebagai sumber (asal) dan
sekaligus tujuan yang mau dicapai atau diwujudkan. Orientasi mengandaikan
keterbukaan mata, pikiran dan hati manusia terhadap apa yang sungguh
dicita-citakan. Di sini menjadi pertanyaan adalah: orientasi macam apa yang
dimiliki oleh para guru agama terhadap pendidikan agama yang berwawasan
multikultural?
Para pendidik agama
pertama-tama mesti beorientasi pada Allah sebagai sumber dari segalanya yang
menjadi asal dan tujuan segalanya. Selain itu orientasi pendidik agama mesti selalu terfokus pada kepentingan
bersama yang terangkum dalam Pancasila. Dan terakhir orientasi peserta didik
harus terfokus pada kepentingan anak manusia sebagai subyek utama pendidikan
dalam konteks multikultural..
Orientasi yang
tepat dan benar akan menjadi dasar kuat bagi para pendidik agama untuk melakukan
transformasi pendidikan agama yang berwawasan multikultural. Transformasi yang
dimaksud adalah pembentukan dan perubahan yang harus dilakukan oleh para
pendidik agama bersama dengan subyek utama pendidikan untuk menghasilkan
manusia-manusia yang beragama dan sekaligus berwawasan multikultural.
Pertanyaannya: apakah para pendidik agama sudah menjadi pribadi-pribadi
transformatif dalam konteks multikultural? Sejauh mana pendidikan agama menjadi
pelaku transformasi pendidikan agama berwawasan multikultural?
(Ende, 3 Oktober 2011; Dr. Dominikus
Nong, Pr)