Wawasan Multikultural Bagi Guru Agama Ende

(Tampak dalam gambar: Dr.phl. Norbert Jegalus, MA sedang menyampaikan materi didampingi oleh John B. Seja, S.Fil (Plt Kasubag Kantor Kemenag Kab. Ende)

Tak sulit membayangkan betapa rawannya Indonesia dengan konflik sosial karena beragamnya budaya, suku, bahasa, dan juga agama yang berada di sekitar 17.500 buah pulau dalam 3.200 mil lautan. Bangsa Indonesia kini berjumlah lebih dari 200 juta, mayoritas beragama Islam, dengan pengakuan lima agama lain secara formal. Demikian juga kondisi Nusa Tenggara Timur dan secara khusus kabupaten Ende yang dapat diibaratkan sebagai “Indonesia mini” dalam keragaman agama, budaya,  suku dan bahasa.

Dari realita di atas, terbukti bahwa keberbedaan (diversity) dalam kehidupan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi pertikaian di hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersimbolkan aneka perbedaan. Termasuk di Kabupaten Ende, dan ironisnya, justru konflik yang disulut adanya pertentangan agama atau ideologi pemikiran keberagamaan-lah yang masih mendominasi.
Mengembangkan paradigma multikulturalisme melalui dunia pendidikan di era sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” terutama atas pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama perlu segera menampilkan ajaran agama yang toleran melalui kurikulum pendidikan dengan tujuan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusivisme kelompok agama dan budaya yang sempit.
Pendidikan memiliki peran strategis untuk membangun serta mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti kemajemukan bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang empati dan simpati terhadap problem kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian, dan sebagainya. Pendidikan agama yang berlangsung bukan sekadar penanaman wacana melalui proses indoktrinasi otak, tetapi sesungguhnya melatih terampil beragama dan kesiapan menghadapi masalah konkret dalam masyarakat berupa perbedaan-perbedaan. Dengan demikian, kerukunan hidup yang dicita-citakan dapat terwujud menjadi kekhasan dan prasyarat terselenggaranya pembangunan di negeri ini.
Menyikapi hal tersebut maka perlu upaya atau terobosan baru dalam usaha pencapaian tujuan tersebut di atas. Kementerian agama sebagai yang membidangi pendidikan agama dan keagamaan berkepentingan untuk menanggapi situasi ini. Hal ini semakin urgen, mengingat visi Kantor Kementerian Agama Kab. Ende adalah Masyarakat Ende Beriman, Cerdas, Rukun dan Sejahtera (BERNAS). Agar visi ini terwujud, yang patut ditempuh adalah salah satunya melalui optimalisasi peran guru pendidikan agama dengan pengembangan wawasan multikulturalisme. Berkaitan dengan itu, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende mengagendakan Kegiatan Pengembangan Wawasan Multikulturalisme Bagi Para Guru Pendidikan Agama Lintas Agama tingkat Kabupaten Ende tahun 2011. 
Kegiatan ini berlangsung di Hotel Safari, Jalan Ahmad Yani, Ende pada hari Senin, 03 Oktober hingga Rabu, 05 Oktober 2011. Kegiatan strategis ini menghadirkan tiga orang pembicara yakni: Dr. phl. Norbert Jegalus, MA (dosen Seminari Tinggi St. Mikael Kupang), Rm. Dr. Dominikus Nong, Pr (Ketua STIPAR Ende) dan Dr. Natsir Kotten, M.Pd (Dosen Universitas Flores, Ende).  
Pada kesempatan ini, pembicara Dr. phl. Norbert Jegalus, MA menekankan pentingnya menata lapisan epistemik kesadaran baru akan kehadiran yang lain dalam diri setiap insan di dunia ini. Beliau menyampaikan materi dengan judul: Pendidikan Agama dalam Alam Multikulturalitas dengan Semangat Multikulturalisme. Menurut Dr. Nobert, MA, persoalan kita selama ini adalah Globalisasi menciptakan ketidakpastian. Orang lalu mencari kepastian baru yakni dengan membentuk kelompok eksklusif. Eksklusivisme agama dan fanatisme agama akan melahirkan intoleransi. Kemudian muncullah Fundamentalisme agama, dengan ciri-ciri: (1) Segala-galanya dilihat secara eksklusif dari aspek agama. (2) Kaum fundamentalis tidak pernah toleran; (3) Ia mengklaim kemutlakan sendiri bagi pandangannya. Ia menganggap diri tidak ada bidang yang dikecualikan dari penguasaannya. Hal sebaliknya dari fundalmentalisme agama adalah Puritanisasi agama: Membersihkan kehidupan agama dari semua unsur yang tidak berasal dari dasar asaliah agama itu. Dan ini akan mengarah kepada Primordialisme agama: Menolak modernitas dan mau kembali kepada suasana yang dulu, yang asli (primordial).
Jawaban kita atas fakta keberagaman di Indonesia ini adalah Pertama, kita perlu membangun kesadaran bersama bahwa keberbedaan itu adalah suatu fakta. Kedua, kita perlu sadar bahwa proses pembentukan kesadaran bersama itu tidak luput dari pengaruh adanya ketidakadilan politik dan ekonomi. Ketiga, kita perlu sadar bahwa bersamaan kita membangun nasionalisme kita berhadapan dengan globalisme. Asimilasi dan integrasi tidak mencukupi untuk menjawabi persoalan kemajemukan budaya. Jawaban tetap multikulturalisme.(Multikulturalitas: Fakta adanya pelbagai kebudayaan dalam masyarakat. dan Multikulturalisme adalah sifat normatif dari kemajemukan itu).(jbs)